07 August 2007

Tradisi Baru Masyarakat Jember: Fashion Carnaval!

Enam tahun lalu, ketika Jember Fashion Carnaval (JFC) digelar pertama kali, tidak pernah terbayang acara fashion show ini akan terus bisa berlangsung. Namun, pelaksanaan JFC 6 tahun 2007 ini telah membuktikan bahwa kota/kabupaten kecil di Jawa Timur itu telah memiliki tradisi baru tingkat dunia: Fashion Carnaval!

Minggu (5/8/07) ini, untuk keenam kalinya Jember Fashion Carnaval digelar di Kota Jember Jawa Timur. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pelaksanaan fashion show massal itu mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat kota yang dikenal sebagai Kota Tembakau dan Kota Suar-suir itu.

Sekitar 150 ribu orang menyemut di pinggir jalan protokol yang juga catwalk sejauh 3,6 KM itu. Mereka bersorak ketika defile peserta JFC melintas dari dari Jl.Sudarman hingga Gedung Olahraga (GOR) Kota Jember. Gerimis yang turun malu-malu siang itu pun tidak mereka hiraukan.

Sorak sorai pentonon JFC memang bukan tanpa alasan. Rancangan disain pakaian, make up, tata rambut hingga penyajian modern yang ditunjukkan oleh 450 orang peserta JFC memang selalu mengundang decak kagum. Belum lagi asesoris tambahan yang semakin memperkaya penampilan peraga busana yang semuanya berasal dari kota Jember itu.

Tema besar JFC kali ini, Save Our World benar-benar terasa. Penerjemahan dalam delapan defile, Borneo, Prison, Predator, Undercover, Amazon, Chinese Opera, Anime dan Recycle menajamkan garis perbedaan JFC dengan even fashion yang banyak digelar di berbagai daerah di Indonesia. “Selain tema, jauhnya catwalk yang hingga saat ini masih yang terpanjang di dunia juga yang membuat JFC tetap berbeda,” ungkap Dynand Fariz, pemrakarsa yang juga Presiden JFC pada The Jakarta Post.

KELUAR DARI BERBAGAI KENDALA

Dynand Fariz boleh berbangga dengan buah karyanya. Apalagi, sejarah pelaksanaan JFC seringkali berbenturan dengan berbagai kendala. Mulai penolakan fashion show yang dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat, hingga keadaan cuaca yang kerap kali tidak menentu. “Saya ingat, bagaimana tahun-tahun lalu kita begitu ditentang, spanduk yang kita pasang pun sering hilang, kita dianggap merusak bangsa dan pada hari H JFC pertama, hujan deras sekali, ha,..ha,..,” kata Dynand sambil tertawa.

Yang paling menyakitkan, penolakan itu salah satunya disebabkan karena JFC melibatkan para waria, selain pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum sebagai peraga busana. “Para penolak JFC sepertinya lupa, event ini adalah pertunjukan fashion yang sama sekali tidak berhubungan dengan hal negatif yang dikhawatirkan,” katanya.

Selain fashion show, event ini juga menawarkan berbagai kegiatan positif. Seperti ajang kompetisi fashion, dancer, singer dan presenter hingga kursus in house training fashion yang diberikan secara cuma-cuma. “Lalu sisi negatifnya mana? JFC harus jalan terus,” tanya Dynand. Hingga masuk ke JFC ke-5 pada tahun 2006 lalu, penolakan masih terasa. Bahkan semakin besar. Tapi dibalik itu, justru JFC pada tahun itu sekaligus sebagai salah satu momentum tinggal landas bagi fashion show yang dilaksanakan di kota berjarak 222 KM dari Surabaya itu. Pada tahun itulah, JFC mulai mendapatkan undangan untuk tampil di berbagai event busana.

Beberapa event besar yang patut dibanggakan adalah Kongres International di Bandung, Pawai Budaya di Istana Negara Jakarta, Kuta Carnival di Bali, Bali Fashion Week, Kutai kertanegara Parade dan Jambore Pramuka International di London Inggris. “Bukan omong kosong, sambutannya sangat meriah,” kenang Dynand.

Laki-laki asli Jember itu menceritakan, di Jambore Pramuka International di London Inggris busana JFC yang dikenakannya sempat dinilai sebagai busana yang “tidak lazim”. Beberapa pengunjung dan wartawan asing di London mempertanyakan hal itu kepada Dynand. “Waktu itu saya perform baju bertema Bali, banyak yang bertanya, kok saya tidak melihat desai baju ini di Bali, padahal saya pernah ke sana,” kata Dynand menirukan.

AJANG BAGI DESIGNER MUDA

Hal penting yang paling mahal dalam setiap pelaksanaan JFC adalah kesempatan bagi designer muda atau bahkan designer yang sebelumnya tidak pernah mendesign baju untuk unjuk gigi dalam event yang kini sudah punya nama di event fashion international ini. Eko Purwanto adalah salah satunya. Pemuda asal Banyuwangi, Jawa Timur ini adalah salah satu designer muda yang dalam JFC ke-6 kali ini menempatkan karyanya sebagai master dalam defile Chinese Opera.

Busana karya Eko didominasi warna merah menyala. Dengan jubah dan topi yang menawarkan kemegahan baju kekaisaran China pada abad ke 13. Belum lagi tongkat, sepatu dan asesoris lain yang senada dengan baju yang dikenakan. “Saya terinspirasi film Kera Sakti, saya mencoba membuat baju seperti yang dikenakan tokoh di film itu, tentu saja, dengan tambahan-tambahan lain,” kata lulusan sekolah mode Esmod Jakarta ini pada The Jakarta Post.

Yang menarik, Eko mengkolaborasikan baju rancangannya dengan tambahan lain, seperti kawat kassa nyamuk sebagai topi, kemucing (pembersih debu) sebagai tanduk atas, serta kain-kain perca yang dipotong dengan motif yang senada dengan Chinese Opera. Hasilnya, sebuah jubah kaisar China seberat 10 kg pun tercipta untuk komandan defile Chinese Opera JFC.

Prasetyo, designer muda lain yang juga menyajikan karyanya dalam JFC ke-6 lebih memilih tema Amazon. Laki-laki pendiam ini menyajikan sebuah baju yang sepintas terkesan dingin, mengerikan namun tetap indah. Padahal, baju yang didesignnya berasal dari kain karpet, terpal, keset dan sabut kelapa. “Kuncinya pada cara memotong yang seirama dengan daun-daun yang ada di hutan Amazon,” kata pemuda yang akrab dipanggil Pras ini.

Lain lagi dengan Arif Trifajar Setyawan, 14 dan Oki Guntur Dwi Permadi, 14. Dua anak siswa Sekolah Menengah Pertama di Jember ini rela mengorbankan barang yang paling berharga demi JFC. Aris misalnya, mengorbankan seragam pencak silat miliknya untuk diubah menjadi busana bernuansa China. Sementara Oki, lebih suka mempraktekkan pelajaran Tata Busana yang didapatkannya di sekolah.

Hasilnya pun tidak mengecewakan. Bagi Frank Abi asal Swis, petunjukan JFC yang dilakukan di Jember sangat menarik. “Its lovely, beautiful, joyful, entertaining and diverent,” kata Frank pada The Jakarta Post. Sepertinya JFC adalah tradisi baru di Jember yang harus diteruskan.

Teks foto: Dynand Fariz dalam World Jambore 2007 di London Inggris.
Foto by: Dynand Fariz Center

1 comment:

  1. Anonymous12:33 am

    mbung, nulis itu, iki nek menurut aku...santeeee.

    ReplyDelete