06 February 2007

Kondom perempuan, upaya melindungi perempuan yang terkendala












Raut muka Eva Yuliawati mendadak berubah ketika dirinya melihat contoh kondom perempuan untuk pertama kali. Pelan-pelan ibu rumah tangga dua anak itu menjinjing kondom bermerk Fiesta itu dan memperhatikannya lebih dekat. "Apa kondom ini yang harus saya masukkan ke vagina? Apa tidak sakit?" katanya singkat sambil memperhatikan benda lembek itu dari segala arah. "Kayaknya terlalu besar," komentarnya. 

Kondom perempuan memang bukan barang baru di Indonesia. Di akhir tahun 90-an, alat kontrasepsi yang di desain khusus untuk perempuan itu sudah dikenal. Hanya saja, karena peminatnya belum banyak ditambah harga yang cukup mahal, kondom perempuan sulit ditemui di apotik atau toko obat. Untuk mendapatkannya, bisa membeli ke toko obat atau sex shop di luar negeri yang membuka sistem jual beli secara online di internet. Senin (5/02) ini, dalam forum Pertemuan Nasional HIV&AIDS di Surabaya, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Abu Rizal Bakrie melaunching kondom perempuan. Produk itu pertama kali dipasarkan oleh Yayasan DKT, bekerja sama dengan Sutra dan Fiesta Jakarta. Yayasan DKT adalah sebuah yayasan sosial yang berafiliasi dengan DKT International. Yayasan ini concern dengan penanggulangan masalah yang terkait HIV & AIDS. Salah satu strategi yang digunakan adalah mensosialisasikan kondom "laki-laki" dengan jargon safety can be fun. Berbeda dengan kondom laki-laki, kondom perempuan memiliki bentuk fisik yang lebih rumit. Dengan panjang 17 cm dan diameter 6,6-7 cm, kondom ini dibuat dari bahan latex. Di bagian depan terpasang segitiga pengaman dari karet yang dibuat sebesar dinding vagina. Di bagian dalam kondom terpasang busa/spon dengan aroma vanila. Barang ini dijual seharga Rp.20 ribu/2 biji. Yayasan DKT melalui pimpinannya Pierre Frederick mengakui tidak mudah memperkenalkan kondom perempuan. Berbagai persoalan, mulai image bahwa kondom hanya untuk laki-laki hingga anggapan tidak nikmatnya menggunakan kondom dalam berhubungan seks, menjadi kendala. "Belum lagi soal habit pengggunaan kondom yang secara psikologis bisa membuat si pemakai merasa tidak nyaman dan merasa rendah diri," kata Pierre Pada The Jakarta Post. Padahal, dibalik itu pemakaian kondom sangat berguna. Kondom perempuan ini salah satu tujuan pembuatannya adalah memberi kuasa kepada perempuan untuk melindungi diri sendiri. "Seperti banyak kita ketahui, banyak perempuan yang terposisikan sebagai orang kedua, padahal mereka yang mengalami kerugian, seperti perkosaan, hamil di luar nikah dan tertular HIV," kata Pierre pada The Post. Di sisi lain, secara sosial perempuan menjadi pihak yang tidak punya kuasa memilih. Termasuk menentukan kapan akan melakukan hubungan seksual termasuk apakah hubungan seksual itu dilakukan dengan menggunakan kondom atau tidak."Selama ini, laki-laki yang menentukan apakah akan memakai kondom atau tidak, kondom perempuan merubah semua itu," katanya. Rahmat Haryono dari Badan Penanggulangan Napsa dan AIDS Provinsi Jawa Timur menilai, hingga saat ini, penggunaan kondom paling efektif untuk menanggulangi HIV & AIDS. Terutama pada kelompok masyarakat resiko tinggi, seperti pekerja seks. "Sekitar 20-30 persen penularan HIV&AIDS itu karena tidak menggunakan kondom, tapi ironisnya, pekerja seks (yang mayoritas perempuan) bukan dalam posisi yang menentukan penggunaan kondom atau tidak," katanya. Melihat hal itu, Rahmat menilai kondom perempuan sangat efektif bila disosialisasikan kepada pekerja seks. "Kalau pengguna pekerja seks tidak bersedia menggunakan kondom, maka pekerja seks bisa punya inisiatif untuk melindungi dirinya dari penularan HIV&AIDS dengan memakai kondom perempuan," jelasnya. Pertanyaan selanjutnya, bersediakah perempuan menggunakan kondom? Pertanyaan Eva Yuliawati agaknya bisa menjadi representasi jawaban. Eva merasa kondom perempuan itu memiliki ukuran yang terlalu besar. Terutama diameter busa/spon di ujung kondom. "Meskipun kondom itu ada gel melumasnya, namun tetap saja ukurannya terlalu besar, saya khawatir ada rasa sakit saat mengenakannya," kata Eva pada the Post. Agus (bukan nama sebenarnya), salah satu aktivis HIV&AIDS yang mengaku sudah "mencoba" menggunakan kondom perempuan bersama istrinya mengaku menemui berbagai kendala. Panjang kondom yang dinilai terlalu pendek, justru menyulitkan Agus ketika berhubungan seks. Termasuk adanya busa/spon di ujung kondom perempuan. "Maaf saja, sakit rasanya ketika istri saya menggunakan kondom perempuan itu, begitu juga ketika berusaha melepasnya," kata Agus pada The Post.

2 comments:

  1. Saya bingung. Bukankah jika demikian ini penyiksaan namanya. Kekerasan dalam seksual. Tapi entahlah kita hidup di dunia yg memang anomali

    ReplyDelete
  2. Saya pernah mendapatkan satu buah female condom, souvenir dari sebuah
    confrerence (7th ICAAP, Kobe, Japan).
    Kondom yang saya dapat ini lebih nyaman daripada kondom perempuan yang
    ditampilkan gambarnya oleh Mas Nugroho di idnugroho.blogspot. com itu

    Coba bandingkan gambarnya dengan product yang saya dapat itu
    gambar kondom perempuan yang saya dapat ada di
    http://www.femalehealth.com/theproduct. html

    jelas lebih nyaman, tanpa benda keras di ujungnya....

    saya gak tau mas nugroho dapat dari mana, dan produk dari manah itu,
    kok tidak begitu nyaman dengan spon di ujungnya seperti itu.

    ReplyDelete